Asal Usul Ramalan Jayabhaya
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai
Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini
sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan
(Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M,
hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah
Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi
penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta
(1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah
dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu
II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini
memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya
kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat
Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat
mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya
Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan
segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda
benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan
Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749).
Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad
Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah
Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya
di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada
tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang
Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai
Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705
M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang
Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi
tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa
Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669
Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be
Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta.
Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni
Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran
Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta
diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672
Jawa = 1747 M.
Analisis Ramalan Jayabhaya
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan
dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar"
Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga
menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara
Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga
jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam
pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini
nampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang
berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai
Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam
di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan
Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir
karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden
Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta
kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden
Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih
lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah
sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah
kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke
tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan
Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi
setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar,
yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa
baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro
Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak
kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram
ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini
ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa
di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa
kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali
kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini
berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai
raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada
tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang
menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628
& 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan
pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan
cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin
Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas
titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja
Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga
(Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA
JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha
dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya
sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan
diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber
semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga dilukiskan sebagai zaman
keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika
kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah
negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK
INDONESIA"!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa
mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal
R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan
benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang
Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan
munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya
bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi
teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka
atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan
historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab
Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi,
plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka
Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun
1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab
Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Sumber wikipedia.org