Perjuangan Cut Nyak Dhien Melawan Belanda
Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia
dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah
VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur
melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878
yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan
Belanda.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada
Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang
Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama
(1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu,
Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa
menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van
Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan
Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya
mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875.
Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk
ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya
moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya,
Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang
fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan
mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada
tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang
pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda
sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan
unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana
untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak
Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar
masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari
taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda
di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup,
Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia
ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan
perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali.
Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku
Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda
marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien
dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti.
Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan
pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar
dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda
Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda
terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit "Maréchaussée"
lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh
orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari
hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan
unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan
nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan
ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru.
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di
daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan
suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901
karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain
itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena
penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan
lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas
Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian.
Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang
berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.Namun, Cut
Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha
mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien
berhasil dihentikan oleh Belanda.[5][6] Cut Gambang berhasil melarikan diri ke
hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar